Home

Friday, May 16, 2014

cerpen: Tronton Terbang di Langit Jayapura

Tronton Terbang


Saat itu hari hujan rintik, menyapa daun-daun yang lunglai dimainkan angin dingin. Awan di atas menggelung dan menggelap, sejak pagi hujan turun, siang ini masih rintik dan basah. Sepertinya musim hujan yang datang sesukanya ini, menurunkan hujanpun dengan sesukanya. Aima, gadis belasan akhir, tidak membenci hujan, namun ia lebih suka jika hari cerah. Ia bisa melangkahkan sepatunya tanpa khawatir bercak-bercak tanah mengotorinya. Ia bebas mengayunkan kaki tanpa takut hujan memandikannya. Hanya itu.
Dan karena hari hujan, maka sepanjang harian, ia hanya tersuruk dari satu titik ke titik lainnya, di selasar kamarnya yang mungil. Raganya memang terpasung dalam ruangan kotak tersebut, namun tidak dengan jiwanya, yang melompat dari satu kenangan kepada kenangan yang lain, mengingat tiap incinya, lalu tersungginglah seutas senyum manisnya.




---


Telinganya pekak, suara ini menggerung sangat keras, bak dengkuran monster raksasa yang tidurnya terganggu. Tak cukup kedua tangannya menutup tiap inci telinganya, berusaha menutup akses masuk secuilpun suara gerungan itu. Ah ini terlalu pekak. Jelas saja, karena di hadapannya, sebuah pesawat Hercules menggerung, entah berteriak, atau meraung-raung dengan pongahnya. Pesawat yang masih terlihat gagah di balik usangnya usia itulah yang akan membawanya pergi ke negeri nun jauh, yang sama sekali belum pernah ia datangi. Aima berdecak, berdebar sekaligus penasaran, dengan kedua tangan yang kuat memegangi telinga. Burung besi usang milik TNI AU tersebut jelas bukan pesawat untuk penerbangan komersil, berfungsi untuk mengangkut barang-barang dari satu pulau ke pulau yang lain di Nusantara. Namun kali ini jelas Hercules yang menggerung hebat tersebut telah beralih fungsi, karena malam ini, akan membawa puluhan mahasiswa yang akan menggelar sebuah konferensi mahasiswa yang dibiayai oleh pemerintah. Aima, adalah salah satunya.

Bagi gadis yang telah lama tinggal di ibukota, Aima termasuk yang kurang beruntung, karena ini adalah perjalanan udara pertamanya. Aima menggegas giginya hingga gemeretak, sedikit menyesali keputusannya mengikuti konferensi mahasiswa di Timur Nusantara sana, melihat ‘alat angkut’ yang akan menerbangkannya. Ia berpendapat, pesawat Hercules di hadapannya terlalu menggigil untuk ukuran pesawat yang akan membawa manusia selama belasan jam ke Timur Nusantara. Terlalu riskan. Salah satu teman perjalanan sekaligus teman kuliahnya, Gema terkekeh.
“Ah Aima! Jangan takut, memang pesawat Hercules ya seperti ini, tapi gagah bukan? Kereen..!!” teriak Gema, padahal Aima berdiri di sampingnya persis, namun suaranya tak nampak, tenggelam dalam gerungan Sang Monster.
“Ini demi tugas negara!! Tak usahlah kau takutkan itu!!” Esfiya, ikut-ikutan berteriak kepada Aima. Yang diteriaki malah semakin menggigil, semakin rapat menutup telinganya. Aima menggerutu dalam hati, “Kupikir kita akan naik pesawat Garuda yang gagah itu, terbang dari bandara internasional yang keren, ah kupikir,,”  Lamunannya terputus, saat seorang petugas berseragam dan bertampang tegas berteriak, menyuruh rombongan mahasiswa yang berasal dari pulau Jawa tersebut segera masuk ke dalam badan burung besi, beriringan.

Aima buru-buru menaiki tangga dan Hercules menelannya, ia masuk dan terlihatlah sekarang bagaimana rupa tubuh Sang Hercules yang sedang menggerung keras ini. Bagi Aima, gadis ibukota yang belum pernah naik pesawat, dan itu bukan prestasi bagus, sama sekali terkejut, tak menyangka isi sebuah benda yang disebut pesawat itu seperti ini. Oh, ini sungguh mengerikan. “Bagaimana mungkin aku akan membiarkan tubuhku melayang di ketinggian ribuan meter, dengan pesawat tua ini. No, ini malah lebih layak disebut sebagai tronton terbang. Kau tentu tahu mobil tronton bukan? Mobil besar bak terbuka milik Brimob dengan terpal hijau lumut itu? Kau tahu?” Aima membatin, setengah mengutuk.

Yah, beginilah kurang lebih isi Hercules ini. Benar-benar mengerikan. Barang-barang entah berantah disusun tinggi di badan belakang pesawat, entah itu bongkahan kayu, besi, entah apalagi karena gelap sedikit menguasai penglihatan Aima. Tali-tali besar mengikat barang entah –berantah tersebut, kuat-kuat. Agak ke depan, disusun bangku-bangku untuk penumpang manusia seperti kami. Tunggu, kurang tepat disebut bangku, karena ia hanya jalinan-jalinan dari tali tambang yang disusun sedemikian rupa hingga bisa menampung manusia untuk duduk, berjejer, berdesak-desakkan, dan berdoa tiada henti agar selamat sampai pulau tujuan. Jejeran bangku tali tambang itu 2 pasang, saling berhadapan, dipisahkan sekat terpal-terpal yang warnanya sudah sulit ditebak, saking usangnya. Inikah yang akan mengangkut mahasiswa-mahasiswa seperti kami, yang katanya akan melakukan konferensi demi kebaikan bangsa? Aima, gadis yang sedang belajar politik itu, hanya menelan ludah berkali-kali.

“Ini keren, bukan? Ini sangat menantang!!” Gema kembali meneriaki Aima yang tak sengaja menggerutu. “No, ini tronton terbang”, desis Aima tak mau kalah. Esfiya tertawa melihat mimik wajah Aima yang ganjil karena sebal. Ia sedikit menyalahkan Gema karena Gema, teman satu divisinya di organisasi inilah yang ngotot menyuruh Aima ikut dalam konferensi ini. Padahal Aima hanya anggota divisi level bawang, berbeda dengan Gema yang ketua divisi, atau bahkan Esfiya sang ketua organisasi. Jadilah ia, Gema, dan Esfiya yang mewakili organisasi di universitasnya.
Saat lepas landas, Hercules terguncang dan menggigil lebih keras, Aima sudah mengikhlaskan semuanya pada Tuhan, apapun yang terjadi. Termasuk penyesalannya untuk mengikuti ide gila bersama Hercules pesawat barang ini, ia sudah ikhlas. Ia hanya berdoa, semoga setiap nyawa dalam rombongan ini selamat sampai Timur Nusantara, dan begitupun ketika menginjakkan lagi di ibukota. Ia berdoa agar Monster yang menggerung keras ini, terbang gagah tanpa cacat sedikitpun, walaupun menggigil.

Setelah belasan jam Hercules ini menggerung dan menggigil di udara, akhirnya ia mendarat juga di sebuah tanah lapang yang sangat terik. Mata Aima yang mengantuk mengerjap, mencari asal cahaya dari celah jendela pesawat. Telinganya sudah berkawan dengan pekak, jadi tak perlu lagi kedua tangannya sibuk menutupnya. Beberapa petugas berseragam menyuarakan pengumuman, yang sayup-sayup di telinga Aima yang mengantuk. Gema masih terlelap di depan ia duduk. Esfiya sudah siaga, dan tampak serius. Terik yang menyengat memeluk mereka begitu kaki menginjak tanah, Bandara Hasanuddin di musim kemarau yang menyala. Aima menyipitkan mata, mengerjap senang. Ia bertanya pada Esfiya, “Kita sudah sampai?” Esfiya belum sempat menjawab,
“Kita hanya transit untuk istirahat dan sebagainya 2 jam. 2 jam lagi kita semua sudah berkumpul di dalam pesawat! Tidak ada yang terlambat!” Bapak-bapak berseragam itu memberi titah dengan tegas, setegas matahari di langit Makassar saat itu. Aima menelan ludah, ternyata perjalanan mengerikan ini belum berakhir.




Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar
Aima mengikuti rombongan, ke tiga tempat utama: toilet, rumah makan, dan masjid. Aroma tanah cendrawasih masih juga belum tercium. Aima dan rombongan harus bersabar.
Setelah transit lagi di Bandara Ambon, akhirnya Hercules ini sudi menginjak di tanah cendrawasih. Bandara Sentani cukup sunyi kala rombongan itu mendarat. Saat itu Bandara Sentani masih terlihat lugu dan terpoles seadanya, menyambut malu-malu. Sekelompok mahasiswa Papua dengan sangat ramah menyambut, dengan tarian selamat datang khas Papua yang eksotis. Rambut ikal yang serupa, kulit yang eksotis, Aima membelakakan matanya, tak percaya aroma negeri cendrawasih sudah tercium. Ia ada di Papua! Negeri nun jauh yang selama ini hanya ia kenal ewat televisi ataupun buku-buku. Aima, sekali lagi, gadis ibukota yang tak pernah naik pesawat, berdecak kagum. Gema tersenyum melihat Aima.

Bandara Sentani, Papua
Setiap rombongan didampingi oleh mahasiswa Papua yang ramah, seperti saudara yang telah lama tak bertemu. Senyum mereka merekah hangat. Aima sedikit terharu, memperhatikan Eve, salah seorang mahasiswa Papua yang tengah repot mengurus barang bawaannya. Eve satu angkatan dengan Aima, sehingga mereka tidak tampak canggung satu sama lain. Aima, dengan muka pucat, sedikit melupakan perjalanan mengesankan bersama tronton terbang tadi.
Beberapa bus mengangkut rombongan, melewati jalanan yang jauh lebih lengang dan sunyi daripada jalanan ibukota. Aima menikmati beberapa bukit di kejauhan yang menyapa penglihatannya melalui jendela bus. Andi, mahasiswa asal Makassar menjadi teman seperjalannya di dalam bus ini. “Kita dari mana?” Andi, berambut lurus dan berperawakan sedang, melirik gadis di sebelahnya. Aima mengernyit, “Kita?” Ia bahkan baru melihat cowok di sampingnya ini.
Andi lupa, bagi orang Makassar, ‘kita’ berarti ‘kamu’, ia terkekeh, “Maksud Saya, kamu dari mana?”
“Oh, Saya dari Jakarta, universitas XY” Aima menjawab sambil matanya tak lepas dari jendela bus. Wow, sekarang bus meliuk, menyapa lembah Danau Sentani yang tersohor itu, sayang rombongan belum diperkenankan mampir, walau sejenak. Kepala Aima sampai harus berjingkat-jingkat lantaran penasaran, bagaimana rupa kecantikan Danau Sentani tersebut.
“Nanti hari kedua, istirahat dari konferensi,panitia akan mengajak menikmati Danau Sentani, tenang saja,” Andi seperti dapat menebak pikiran Aima. Aima tersenyum canggung.
“Oya, bagaimana tadi perjalanan terbangnya? Lumayan yah?” Andi berusaha seramah mungkin pada gadis yang mudah bersungut-sungut di sebelahnya tersebut.
Aima menjawab dalam hati, terbang ya..
Seolah cepat sekali hari menjadi gelap, masih cukup terik saat tiba di bandara Sentani tadi, berbeda saat tiba di penginapan, yang merupakan wisma dari akademi milik pemerintah di kota Jayapura ini. Aima menguap, berjejalan masuk bersama Eve, Andi, dan semua rombongan. Tuan rumah akan membagi kamar sesuai jenis kelamin, tidak memandang daerah asal rombongan. Wahh..
“Kita sekamar sama siapa?” Andi, melirik Aima yang sedang asyik mengobrol bersama mahasiswi dari seluruh nusantara lainnya. Aima mendelik sebal, sejak di bus tadi, kentara sekali kalau Andi senang sekali bertanya padanya. “Kita? Kita lagi?” Aima mendengus ke arah Andi yang sedang senyum-senyum.

Esfiya menyikut Aima, “Kita bisa satu kamar kan, Ai?”
“Oh, boleh Kak. Aku ke toilet dulu ya Kak” Esfiya memang senior bagi Aima, sehingga ia sungkan jika memanggil nama saja. Aima bertanya letak toilet pada panitia terdekat.
Saat Aima kembali, lobby penginapan jauh lebih lengang. Puluhan mahasiswa tadi sudah ke kamar masing-masing. Ia lupa belum tahu mendapat kamar nomor berapa.
“Aima Safira, di kamar nomor berapa ya? Teman sekamar saya Esfiya Fadilla,” tanya Aima di meja resepsionis panitia.
“Hemm sebentar. Atas nama Esfiya Fadilla sudah penuh 4 orang. Aima di kamar yang lain, dan belum ada nama lain yang menjadi teman sekamar Aima. “ Kakak manis berwajah khas Timur nusantara ini menyebutkan nomor kamar, dan memberikan kunci pada Aima.
“Biar Aku antar,” Jeremia, begitu gadis itu mengenalkan diri. Rambut ikalnya digelung sangat mengesankan. Rapih dan manis. Aima tersenyum berterimakasih. Perasaannya tidak begitu baik, bagaimana jika ia hanya sekamar seorang diri? Ah!
“Sepanjang koridor lantai 3 ini kamar cewek, kamu tenang saja, dan di sebelah kamar kamu, itu kamar panitia cewek. Esfiya temanmu itu ada di lantai 1.” Jeremia menjelaskan dengan cara yang menyenangkan dan menenangkan.
“Mungkin ada beberapa peserta cewek yang belum datang, yang akan ditempatkan bersamamu, Aima” Jeremia tersenyum.
Kamar ini cukup luas dengan dua tempat tidur besar. Ber-AC dan televisi. Cukup menyenangkan dan bersih. Jeremia pamit.
View dari Langit Jayapura

--
Hujan masih juga belum memperlihatkan tanda-tanda akan reda, walau sejeda. Aima membuka layar handphone, mencari sesuatu. Untung saja ini hari libur, Aima terbebas dari harus menderita di bawah air hujan untuk sekadar beraktivitas. Sekali lagi, ia tak membenci hujan, namun ia lebih suka saat hari cerah merona.
Aima, ko tara pernah kasih kabar lagi..
Begitu bunyi pesan singkat tersebut. Sangat singkat, namun Aima terus hanyut dalam perasaan mendalam. Kenangan melompati ruang waktu, dalam isi kepalanya.
--
Pagi buta, udara Jayapura begitu menusuk tulang. Aima menggigil, tak sempat mematikan AC tadi malam. Aneh, malam hari cukup panas, pagi buta begini sangat dingin. Ia bergegas memaksakan diri membersihkan diri, karena pagi-pagi sekali setiap rombongan harus sudah siaga di aula Universitas Cenderawasih, menyambut Kepala Negara yang akan datang membuka konferensi mahasiswa tingkat nasional ini.
Aima sudah berpisah dengan Esfiya dan Gema teman satu kampusnya, sejak tadi malam. Sekarang ia berkawan dengan teman-temn baru. Risma, mahasiswi Aceh yang cantik, Gita, dari Medan, Aldo dari Pontianak, Fikran Jogjakarta, dan banyak lagi. Aima cukup menikmati pagi yang terik di bawah langit Jayapura. Di pelataran kampus nomor satu di bumi cenderawasih ini, penuh sesak, banyak petugas bertebaran bertugas menjaga dan menertibkan rombongan. Penyambutan kepala negara ini sungguh luar biasa. Ada sedikitnya 1 km barisan, dengan 3 level pemerikasaan, sebelum akhirnya masuk ke dalam Aula tempat konferensi akan dibuka. Aima tertawa dalam hati, bertahun-tahun hidup di ibukota belum pernah satu kalipun ia akan menyambut Kepala Negara dengan sedemikian rupa, namun disini, nun jauh dari ibukota sana, ia sampai harus berpayah-payah seperti ini. Pengalaman yang berbeda.

Andi menyeruak di balik rimbunan rombongan. Senyumnya lebar dan menyapa Aima.
“Hei,, ketemu lagi sama kita, “ Andi melambaikan tangan ke arah Aima. Jarak mereka terpaut 3 kepala yang sedang berbaris, cukup dekat, sehingga lambaian tangan Andi dianggap berlebihan oleh Aima. Aima melengos. Andi merengsek maju, menjejal barisan di depannya, mendekati Aima.

“Kamu kenapa? Sakit?” melihat Aima yang membeku sedari tadi ia sapa, Andi bertanya semakin kacau. “iya sakit aku,” Aima mendengus sebal.
“Sakit kalau kamu terus bertanya sama aku,” Aima mendesis, Andi tepat ada depan ia berbaris. Andi tertawa.
“Haha. Kenapa? Wajar kan, kita berkenalan dengan cara saling bertanya. Haha”
“Wajar memang kalau kita saling bertanya, yang tidak wajar adalah, kamu bertanya terus-menerus, walaupun aku diam tak menjawab” Aima tak mau kalah mendesis lebih kencang. Mahasiwa di depan Andi berbaris, menoleh ke arah mereka dengan tatapan sebal.
“ahh, ya sudah gentian sekarang kamu yang bertanya sekarang. Hehe” Andi malah menantang Aima dengan menyebalkan.
“Menggelikan,” Aima membalas Andi yang tak bosan tersenyum.
“Pasti sangat membosankan kita berbaris seperti ini akan ada sampai 3 jam, dan kamu mau terus menerus diam?” Andi berusaha memancing.

“Dan kamu mau sampai kapan mengoceh? Itu lebih melelahkan” Aima berseloroh pelan.
“Kamu mahasiswi baru ya? Kok tidak ada sopan santunnya sama sekali sama kakak senior seperti aku?” Andi berpura-pura memasang mimik sedih. Aima tertawa kecil, keceplosan.


---


Pembukaan konferensipun usai dengan membosankan. Beberapa pejabat pusat pun hadir, namun hanya beberapa wajah saja yang Aima kenali. Agenda berikutnya peserta diajak mengenal benda-benda yang disimpan di Museum Cenderawasih. Letaknya cukup dekat, hanya berjalan kaki sebentar.

Ini kesempatan bagi Aima yang tidak begitu menyukai politik, refreshing sejenak. Karena sedari tadi, tema konferensi adalah seputar politik, dengan beberapa intrik yang membumbuinya. Aima memang belajar politik dengan berorganisasi, namun jika boleh memilih, pergi ke museum tentu jauh lebih menyenangkan baginya.
Motif-motif kuno khas Papua berjejer usang di etalase museum. Aima terpukau saat melihat beragam bentuk topeng khas Papua yang unik-unik. Tidak seperti kebanyakan topeng yang ia temukan di Jawa. Topeng ragam Papua lebih mirip seperti topeng buatan Afrika, atau bahkan Korea. Aima tahu sedikit tentang topeng, karena ia pernah menjadi panitia pementasan tari topeng di kampusnya, sehingga kurang lebih ia mencari tahu ragam topeng di nusantara dan mancaranegara. Beberapa rombongan sibuk memotret, atau bahkan berpose di depan benda-benda bersejarah tersebut. Aima, sendirian, melihat-lihat, dan tampak serius.
“Sini kita Saya fotoin” Lagi-lagi Andi muncul mendadak di depan Aima.
Aima mendelik ke arah suara yang sudah dikenalnya. Kali ini ia tidak berminat meladeni cowok jangkung berambut lurus tersebut. Ia berlalu, kembali berkutat dengan kekayaan Papua yang mengesankan. Andi tersenyum.
--
“Aima, nanti temui Aku di kamar ya, kita diskusi bahan presentasi untuk agenda esok,” Esfiya menghampiri Aima saat makan malam tiba. Aima mengangguk, dan melihat Gema yang terbahak-bahak di meja seberang, bersama teman-teman barunya. Aima menelan makan malamnya dengan lambat, Esfiya masih sibuk menuliskan ini-itu dalam catatannya. Esfiya memang seorang pemimpin yang mengesankan. Walaupun ia perempuan, namun ia tegas, pintar, dan berwibawa. Aima kadang membayangkan menjadi Esfiya yang keren, namun melengos saat ingat dirinya hanya gadis mahasiswa baru level bawang yang belum mahir dalam berorganisasi.
--
Ini hari ketiga Aima dipeluk udara Jayapura yang labil. Panas di siang hari, dan dingin menusuk di pagi hari. Pagi ini ia mimilih mendaki bukit-bukit kecil di belakang penginapan, yang sejak ia sampai di penginapan, hanya bisa dipandangi dari atas balkon kamar.
Bersama  rombongan kecil yang memiliki niat yang sama, ia mendaki bukit-bukti berumput itu. Pemimpin rombongan kecil itu adalah Kak Ode, mahasiswa asli Kendari yang telah lama menetap di Jayapura. Badannya tegap, dengan kulit gelap, namun ia memiliki senyum yang manis, karena sikapnya yang ramah pada semua orang. Acara mendaki bukit di pagi hari ini merupakan agenda bebas, sebelum dimulainya agenda konferensi siang nanti.
Aima menikmati udara Jayapura yang begitu segar, sepanjang mata memandang adalah bukit-bukit yang tertimpa cahaya matahari pagi. Ini sungguh berbeda dengan pagi di langit Jakarta. Bercanda dengan rombongan yang semuanya ramah, dan yang penting, tidak ada Andi dalam rombongan.
“Tunggu, kenapa juga aku kepikiran Andi?” Aima mengibas sebal pikirannya sendiri.
--
Konferensi berlangsung sangat seru, beberapa keputusan penting dan sulit sudah dikantongi. Esfiya, sebagai salah seorang calon pemimpin muda, berorasi dengan sangat mengesankan. Auranya menguasai seluruh aula. Bahkan beberapa mahasiswa dari Ternate yang biasa tidak pernah sepakat dengan forum, kali ini mengangguk-angguk mendengar orasi Esfiya. Aima memperhatikan di sudut aula, duduk merapat bersama mahasiswa asal Jakarta lainnya.
Usai konferensi panitia mengumumkan agar peserta bersiap-siap untuk trip ke bukit TVRI dan kantor Gubernur Papua. Seluruh peserta bersemangat, mengingat kantor TVRI yang terletak di bukit cukup tinggi di Jayapura, yang konon bisa melihat seluruh pemandangan kota Jayapura dari atas bukit TVRI. Semua bergegas, termasuk Aima.
“Benar-benar indaaaah” Aima tak bosan-bosannya berdecak kagum, melihat seluruh kota Jayapura dari atas bukit. Sudah lupa sama sekali akan tronton terbang yang mengerikan.
“Apalagi kalau malam hari, jauh lebih indah lagi, Mace” Eve, kali ini bersama Aima, menimpali. Mace adalah panggilan untuk ibu-ibu di Papua. Aima tertawa mendengar Eve memanggilnya Mace.
“Oyah? Seindah apa?” Aima penasaran.
“Wah,,Ko tara taulah sebelum lihat sendiri.. Haha ya seindah Jayapura di malam hari, hehe” Eve malah menggoda Aima.
“Kamu mau melihat pemandangan Jayapura di malam hari, Ai?” Andi lagi-lagi mendadak muncul di area pandang Aima. Cowok Makassar yang satu ini seperti angin, melesat sana-sini, lalu mendesis tiba-tiba dalam jarak dekat, terutama di seputaran Aima. Aima melirik, melalui punggung Eve, ia melihat Andi memakai kemeja kotak-kotak biru kali ini. Ah, peduli amat, mau kemjanya kotak-kotak atau bahkan abstrak sekalipun, apa pedulinya..gerutu Aima.


---


Ternyata seminggu di Papua dengan jadwal konferensi dan trip-trip yang padat sangat tidak terasa. Aima berpikir waktu begitu cepat berlari di sini. Ia bahkan belum sempat ke daerah perbatasan Papua dengan Papua Nugini yang katanya masih terjadi baku tembak. Seru, menantang, sekaligus petualangan yang berbahaya menanti di sana. Sayang, itu tak mungkin menjadi destinasi trip bagi rombongan konferensi. Daerah tersebut bukan untuk umum. Aima menghela nafas panjang, mengingat usai berarti ia harus kembali berurusan dengan Hercules mengerikan itu lagi, tronton terbang!
Bersiaplah, Aima tak gentar lagi sekarang menghadapimu..


---


Gerimis menutup hujan yang awet sepanjang hari, membuat Aima terpaksa melompati kenangan-kenangannya bersama tronton terbang di bawah langit Jayapura! Dan layar ponselnya kembali memampang pesan singkat dengan nama pengirim, Andi.






No comments: