Saat
itu hari hujan rintik, menyapa daun-daun yang lunglai dimainkan angin dingin.
Awan di atas menggelung dan menggelap, sejak pagi hujan turun, siang ini masih
rintik dan basah. Sepertinya musim hujan yang datang sesukanya ini, menurunkan
hujanpun dengan sesukanya. Aima, gadis belasan akhir, tidak membenci hujan,
namun ia lebih suka jika hari cerah. Ia bisa melangkahkan sepatunya tanpa
khawatir bercak-bercak tanah mengotorinya. Ia bebas mengayunkan kaki tanpa
takut hujan memandikannya. Hanya itu.
Dan
karena hari hujan, maka sepanjang harian, ia hanya tersuruk dari satu titik ke
titik lainnya, di selasar kamarnya yang mungil. Raganya memang terpasung dalam
ruangan kotak tersebut, namun tidak dengan jiwanya, yang melompat dari satu
kenangan kepada kenangan yang lain, mengingat tiap incinya, lalu tersungginglah
seutas senyum manisnya.
---
Telinganya
pekak, suara ini menggerung sangat keras, bak dengkuran monster raksasa yang
tidurnya terganggu. Tak cukup kedua tangannya menutup tiap inci telinganya,
berusaha menutup akses masuk secuilpun suara gerungan itu. Ah ini terlalu
pekak. Jelas saja, karena di hadapannya, sebuah pesawat Hercules menggerung,
entah berteriak, atau meraung-raung dengan pongahnya. Pesawat yang masih
terlihat gagah di balik usangnya usia itulah yang akan membawanya pergi ke
negeri nun jauh, yang sama sekali belum pernah ia datangi. Aima berdecak,
berdebar sekaligus penasaran, dengan kedua tangan yang kuat memegangi telinga.
Burung besi usang milik TNI AU tersebut jelas bukan pesawat untuk penerbangan
komersil, berfungsi untuk mengangkut barang-barang dari satu pulau ke pulau
yang lain di Nusantara. Namun kali ini jelas Hercules yang menggerung hebat
tersebut telah beralih fungsi, karena malam ini, akan membawa puluhan mahasiswa
yang akan menggelar sebuah konferensi mahasiswa yang dibiayai oleh pemerintah.
Aima, adalah salah satunya.
Bagi
gadis yang telah lama tinggal di ibukota, Aima termasuk yang kurang beruntung,
karena ini adalah perjalanan udara pertamanya. Aima menggegas giginya hingga
gemeretak, sedikit menyesali keputusannya mengikuti konferensi mahasiswa di
Timur Nusantara sana, melihat ‘alat angkut’ yang akan menerbangkannya. Ia
berpendapat, pesawat Hercules di hadapannya terlalu menggigil untuk ukuran
pesawat yang akan membawa manusia selama belasan jam ke Timur Nusantara.
Terlalu riskan. Salah satu teman perjalanan sekaligus teman kuliahnya, Gema
terkekeh.
“Ah
Aima! Jangan takut, memang pesawat Hercules ya seperti ini, tapi gagah bukan?
Kereen..!!” teriak Gema, padahal Aima berdiri di sampingnya persis, namun
suaranya tak nampak, tenggelam dalam gerungan Sang Monster.
“Ini
demi tugas negara!! Tak usahlah kau takutkan itu!!” Esfiya, ikut-ikutan
berteriak kepada Aima. Yang diteriaki malah semakin menggigil, semakin rapat
menutup telinganya. Aima menggerutu dalam hati, “Kupikir kita akan naik pesawat
Garuda yang gagah itu, terbang dari bandara internasional yang keren, ah
kupikir,,” Lamunannya terputus, saat
seorang petugas berseragam dan bertampang tegas berteriak, menyuruh rombongan
mahasiswa yang berasal dari pulau Jawa tersebut segera masuk ke dalam badan
burung besi, beriringan.
Aima
buru-buru menaiki tangga dan Hercules menelannya, ia masuk dan terlihatlah
sekarang bagaimana rupa tubuh Sang Hercules yang sedang menggerung keras ini.
Bagi Aima, gadis ibukota yang belum pernah naik pesawat, dan itu bukan prestasi
bagus, sama sekali terkejut, tak menyangka isi sebuah benda yang disebut
pesawat itu seperti ini. Oh, ini sungguh mengerikan. “Bagaimana mungkin aku
akan membiarkan tubuhku melayang di ketinggian ribuan meter, dengan pesawat tua
ini. No, ini malah lebih layak
disebut sebagai tronton terbang. Kau tentu tahu mobil tronton bukan? Mobil
besar bak terbuka milik Brimob dengan terpal hijau lumut itu? Kau tahu?” Aima
membatin, setengah mengutuk.
Yah,
beginilah kurang lebih isi Hercules ini. Benar-benar mengerikan. Barang-barang
entah berantah disusun tinggi di badan belakang pesawat, entah itu bongkahan
kayu, besi, entah apalagi karena gelap sedikit menguasai penglihatan Aima.
Tali-tali besar mengikat barang entah –berantah tersebut, kuat-kuat. Agak ke
depan, disusun bangku-bangku untuk penumpang manusia seperti kami. Tunggu, kurang tepat disebut bangku, karena
ia hanya jalinan-jalinan dari tali tambang yang disusun sedemikian rupa hingga
bisa menampung manusia untuk duduk, berjejer, berdesak-desakkan, dan berdoa
tiada henti agar selamat sampai pulau tujuan. Jejeran bangku tali tambang itu 2
pasang, saling berhadapan, dipisahkan sekat terpal-terpal yang warnanya sudah
sulit ditebak, saking usangnya. Inikah yang akan mengangkut mahasiswa-mahasiswa
seperti kami, yang katanya akan melakukan konferensi demi kebaikan bangsa?
Aima, gadis yang sedang belajar politik itu, hanya menelan ludah berkali-kali.
“Ini
keren, bukan? Ini sangat menantang!!” Gema kembali meneriaki Aima yang tak
sengaja menggerutu. “No, ini tronton terbang”, desis Aima tak mau kalah. Esfiya
tertawa melihat mimik wajah Aima yang ganjil karena sebal. Ia sedikit menyalahkan
Gema karena Gema, teman satu divisinya di organisasi inilah yang ngotot menyuruh Aima ikut dalam
konferensi ini. Padahal Aima hanya anggota divisi level bawang, berbeda dengan Gema yang ketua divisi, atau bahkan Esfiya
sang ketua organisasi. Jadilah ia, Gema, dan Esfiya yang mewakili organisasi di
universitasnya.
Saat
lepas landas, Hercules terguncang dan menggigil lebih keras, Aima sudah
mengikhlaskan semuanya pada Tuhan, apapun yang terjadi. Termasuk penyesalannya
untuk mengikuti ide gila bersama Hercules pesawat barang ini, ia sudah ikhlas.
Ia hanya berdoa, semoga setiap nyawa dalam rombongan ini selamat sampai Timur
Nusantara, dan begitupun ketika menginjakkan lagi di ibukota. Ia berdoa agar
Monster yang menggerung keras ini, terbang gagah tanpa cacat sedikitpun,
walaupun menggigil.
Setelah
belasan jam Hercules ini menggerung dan menggigil di udara, akhirnya ia
mendarat juga di sebuah tanah lapang yang sangat terik. Mata Aima yang
mengantuk mengerjap, mencari asal cahaya dari celah jendela pesawat. Telinganya
sudah berkawan dengan pekak, jadi tak perlu lagi kedua tangannya sibuk
menutupnya. Beberapa petugas berseragam menyuarakan pengumuman, yang
sayup-sayup di telinga Aima yang mengantuk. Gema masih terlelap di depan ia
duduk. Esfiya sudah siaga, dan tampak serius. Terik yang menyengat memeluk
mereka begitu kaki menginjak tanah, Bandara Hasanuddin di musim kemarau yang
menyala. Aima menyipitkan mata, mengerjap senang. Ia bertanya pada Esfiya,
“Kita sudah sampai?” Esfiya belum sempat menjawab,
“Kita
hanya transit untuk istirahat dan sebagainya 2 jam. 2 jam lagi kita semua sudah
berkumpul di dalam pesawat! Tidak ada yang terlambat!” Bapak-bapak berseragam
itu memberi titah dengan tegas, setegas matahari di langit Makassar saat itu.
Aima menelan ludah, ternyata perjalanan mengerikan ini belum berakhir.
Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar |
Aima
mengikuti rombongan, ke tiga tempat utama: toilet, rumah makan, dan masjid. Aroma
tanah cendrawasih masih juga belum tercium. Aima dan rombongan harus bersabar.
Setelah
transit lagi di Bandara Ambon, akhirnya Hercules ini sudi menginjak di tanah
cendrawasih. Bandara Sentani cukup sunyi kala rombongan itu mendarat. Saat itu
Bandara Sentani masih terlihat lugu dan terpoles seadanya, menyambut malu-malu.
Sekelompok mahasiswa Papua dengan sangat ramah menyambut, dengan tarian selamat
datang khas Papua yang eksotis. Rambut ikal yang serupa, kulit yang eksotis,
Aima membelakakan matanya, tak percaya aroma negeri cendrawasih sudah tercium.
Ia ada di Papua! Negeri nun jauh yang selama ini hanya ia kenal ewat televisi
ataupun buku-buku. Aima, sekali lagi, gadis ibukota yang tak pernah naik
pesawat, berdecak kagum. Gema tersenyum melihat Aima.
Bandara Sentani, Papua |
Setiap
rombongan didampingi oleh mahasiswa Papua yang ramah, seperti saudara yang
telah lama tak bertemu. Senyum mereka merekah hangat. Aima sedikit terharu,
memperhatikan Eve, salah seorang mahasiswa Papua yang tengah repot mengurus
barang bawaannya. Eve satu angkatan dengan Aima, sehingga mereka tidak tampak
canggung satu sama lain. Aima, dengan
muka pucat, sedikit melupakan perjalanan mengesankan bersama tronton terbang tadi.
Beberapa
bus mengangkut rombongan, melewati jalanan yang jauh lebih lengang dan sunyi
daripada jalanan ibukota. Aima menikmati beberapa bukit di kejauhan yang
menyapa penglihatannya melalui jendela bus. Andi, mahasiswa asal Makassar
menjadi teman seperjalannya di dalam bus ini. “Kita dari mana?” Andi, berambut
lurus dan berperawakan sedang, melirik gadis di sebelahnya. Aima mengernyit,
“Kita?” Ia bahkan baru melihat cowok di sampingnya ini.
Andi
lupa, bagi orang Makassar, ‘kita’ berarti ‘kamu’, ia terkekeh, “Maksud Saya,
kamu dari mana?”
“Oh,
Saya dari Jakarta, universitas XY” Aima menjawab sambil matanya tak lepas dari
jendela bus. Wow, sekarang bus meliuk, menyapa lembah Danau Sentani yang
tersohor itu, sayang rombongan belum diperkenankan mampir, walau sejenak.
Kepala Aima sampai harus berjingkat-jingkat lantaran penasaran, bagaimana rupa
kecantikan Danau Sentani tersebut.
“Nanti
hari kedua, istirahat dari konferensi,panitia akan mengajak menikmati Danau
Sentani, tenang saja,” Andi seperti dapat menebak pikiran Aima. Aima tersenyum
canggung.
“Oya, bagaimana tadi perjalanan terbangnya? Lumayan
yah?” Andi berusaha seramah mungkin pada gadis yang mudah bersungut-sungut di
sebelahnya tersebut.
Aima menjawab dalam hati, terbang ya..
Seolah
cepat sekali hari menjadi gelap, masih cukup terik saat tiba di bandara Sentani
tadi, berbeda saat tiba di penginapan, yang merupakan wisma dari akademi milik
pemerintah di kota Jayapura ini. Aima menguap, berjejalan masuk bersama Eve,
Andi, dan semua rombongan. Tuan rumah akan membagi kamar sesuai jenis kelamin,
tidak memandang daerah asal rombongan. Wahh..
“Kita
sekamar sama siapa?” Andi, melirik Aima yang sedang asyik mengobrol bersama
mahasiswi dari seluruh nusantara lainnya. Aima mendelik sebal, sejak di bus
tadi, kentara sekali kalau Andi senang sekali bertanya padanya. “Kita? Kita
lagi?” Aima mendengus ke arah Andi yang sedang senyum-senyum.
Esfiya
menyikut Aima, “Kita bisa satu kamar kan, Ai?”
“Oh,
boleh Kak. Aku ke toilet dulu ya Kak” Esfiya memang senior bagi Aima, sehingga
ia sungkan jika memanggil nama saja. Aima bertanya letak toilet pada panitia
terdekat.
Saat
Aima kembali, lobby penginapan jauh lebih lengang. Puluhan mahasiswa tadi sudah
ke kamar masing-masing. Ia lupa belum tahu mendapat kamar nomor berapa.
“Aima
Safira, di kamar nomor berapa ya? Teman sekamar saya Esfiya Fadilla,” tanya
Aima di meja resepsionis panitia.
“Hemm
sebentar. Atas nama Esfiya Fadilla sudah penuh 4 orang. Aima di kamar yang
lain, dan belum ada nama lain yang menjadi teman sekamar Aima. “ Kakak manis
berwajah khas Timur nusantara ini menyebutkan nomor kamar, dan memberikan kunci
pada Aima.
“Biar
Aku antar,” Jeremia, begitu gadis itu mengenalkan diri. Rambut ikalnya digelung
sangat mengesankan. Rapih dan manis. Aima tersenyum berterimakasih. Perasaannya
tidak begitu baik, bagaimana jika ia hanya sekamar seorang diri? Ah!
“Sepanjang
koridor lantai 3 ini kamar cewek, kamu tenang saja, dan di sebelah kamar kamu,
itu kamar panitia cewek. Esfiya temanmu itu ada di lantai 1.” Jeremia
menjelaskan dengan cara yang menyenangkan dan menenangkan.
“Mungkin
ada beberapa peserta cewek yang belum datang, yang akan ditempatkan bersamamu,
Aima” Jeremia tersenyum.
Kamar
ini cukup luas dengan dua tempat tidur besar. Ber-AC dan televisi. Cukup
menyenangkan dan bersih. Jeremia pamit.
View dari Langit Jayapura |
--
Hujan
masih juga belum memperlihatkan tanda-tanda akan reda, walau sejeda. Aima
membuka layar handphone, mencari sesuatu. Untung saja ini hari libur, Aima
terbebas dari harus menderita di bawah air hujan untuk sekadar beraktivitas.
Sekali lagi, ia tak membenci hujan, namun ia lebih suka saat hari cerah merona.
Aima, ko tara pernah kasih kabar lagi..
Begitu
bunyi pesan singkat tersebut. Sangat singkat, namun Aima terus hanyut dalam
perasaan mendalam. Kenangan melompati ruang waktu, dalam isi kepalanya.
--
Pagi
buta, udara Jayapura begitu menusuk tulang. Aima menggigil, tak sempat
mematikan AC tadi malam. Aneh, malam hari cukup panas, pagi buta begini sangat
dingin. Ia bergegas memaksakan diri membersihkan diri, karena pagi-pagi sekali
setiap rombongan harus sudah siaga di aula Universitas Cenderawasih, menyambut
Kepala Negara yang akan datang membuka konferensi mahasiswa tingkat nasional
ini.
Aima
sudah berpisah dengan Esfiya dan Gema teman satu kampusnya, sejak tadi malam.
Sekarang ia berkawan dengan teman-temn baru. Risma, mahasiswi Aceh yang cantik,
Gita, dari Medan, Aldo dari Pontianak, Fikran Jogjakarta, dan banyak lagi. Aima
cukup menikmati pagi yang terik di bawah langit Jayapura. Di pelataran kampus
nomor satu di bumi cenderawasih ini, penuh sesak, banyak petugas bertebaran
bertugas menjaga dan menertibkan rombongan. Penyambutan kepala negara ini
sungguh luar biasa. Ada sedikitnya 1 km barisan, dengan 3 level pemerikasaan,
sebelum akhirnya masuk ke dalam Aula tempat konferensi akan dibuka. Aima
tertawa dalam hati, bertahun-tahun hidup di ibukota belum pernah satu kalipun
ia akan menyambut Kepala Negara dengan sedemikian rupa, namun disini, nun jauh
dari ibukota sana, ia sampai harus berpayah-payah seperti ini. Pengalaman yang
berbeda.
Andi
menyeruak di balik rimbunan rombongan. Senyumnya lebar dan menyapa Aima.
“Hei,,
ketemu lagi sama kita, “ Andi
melambaikan tangan ke arah Aima. Jarak mereka terpaut 3 kepala yang sedang berbaris,
cukup dekat, sehingga lambaian tangan Andi dianggap berlebihan oleh Aima. Aima
melengos. Andi merengsek maju, menjejal barisan di depannya, mendekati Aima.
“Kamu
kenapa? Sakit?” melihat Aima yang membeku sedari tadi ia sapa, Andi bertanya
semakin kacau. “iya sakit aku,” Aima mendengus sebal.
“Sakit
kalau kamu terus bertanya sama aku,” Aima mendesis, Andi tepat ada depan ia
berbaris. Andi tertawa.
“Haha.
Kenapa? Wajar kan, kita berkenalan dengan cara saling bertanya. Haha”
“Wajar
memang kalau kita saling bertanya, yang tidak wajar adalah, kamu bertanya
terus-menerus, walaupun aku diam tak menjawab” Aima tak mau kalah mendesis
lebih kencang. Mahasiwa di depan Andi berbaris, menoleh ke arah mereka dengan
tatapan sebal.
“ahh,
ya sudah gentian sekarang kamu
yang bertanya sekarang. Hehe” Andi malah menantang Aima dengan menyebalkan.
“Menggelikan,”
Aima membalas Andi yang tak bosan tersenyum.
“Pasti
sangat membosankan kita berbaris seperti ini akan ada sampai 3 jam, dan kamu
mau terus menerus diam?” Andi berusaha memancing.
“Dan
kamu mau sampai kapan mengoceh? Itu lebih melelahkan” Aima berseloroh pelan.
“Kamu
mahasiswi baru ya? Kok tidak ada sopan santunnya sama sekali sama kakak senior
seperti aku?” Andi berpura-pura memasang mimik sedih. Aima tertawa kecil,
keceplosan.
---
Pembukaan
konferensipun usai dengan membosankan. Beberapa pejabat pusat pun hadir, namun
hanya beberapa wajah saja yang Aima kenali. Agenda berikutnya peserta diajak
mengenal benda-benda yang disimpan di Museum Cenderawasih. Letaknya cukup
dekat, hanya berjalan kaki sebentar.
Ini
kesempatan bagi Aima yang tidak begitu menyukai politik, refreshing sejenak.
Karena sedari tadi, tema konferensi adalah seputar politik, dengan beberapa
intrik yang membumbuinya. Aima memang belajar politik dengan berorganisasi,
namun jika boleh memilih, pergi ke museum tentu jauh lebih menyenangkan
baginya.
Motif-motif
kuno khas Papua berjejer usang di etalase museum. Aima terpukau saat melihat
beragam bentuk topeng khas Papua yang unik-unik. Tidak seperti kebanyakan
topeng yang ia temukan di Jawa. Topeng ragam Papua lebih mirip seperti topeng
buatan Afrika, atau bahkan Korea. Aima tahu sedikit tentang topeng, karena ia
pernah menjadi panitia pementasan tari topeng di kampusnya, sehingga kurang
lebih ia mencari tahu ragam topeng di nusantara dan mancaranegara. Beberapa
rombongan sibuk memotret, atau bahkan berpose di depan benda-benda bersejarah
tersebut. Aima, sendirian, melihat-lihat, dan tampak serius.
“Sini kita Saya fotoin” Lagi-lagi Andi muncul
mendadak di depan Aima.
Aima
mendelik ke arah suara yang sudah dikenalnya. Kali ini ia tidak berminat
meladeni cowok jangkung berambut lurus tersebut. Ia berlalu, kembali berkutat
dengan kekayaan Papua yang mengesankan. Andi tersenyum.
--
“Aima,
nanti temui Aku di kamar ya, kita diskusi bahan presentasi untuk agenda esok,”
Esfiya menghampiri Aima saat makan malam tiba. Aima mengangguk, dan melihat
Gema yang terbahak-bahak di meja seberang, bersama teman-teman barunya. Aima
menelan makan malamnya dengan lambat, Esfiya masih sibuk menuliskan ini-itu
dalam catatannya. Esfiya memang seorang pemimpin yang mengesankan. Walaupun ia
perempuan, namun ia tegas, pintar, dan berwibawa. Aima kadang membayangkan
menjadi Esfiya yang keren, namun melengos saat ingat dirinya hanya gadis mahasiswa
baru level bawang yang belum mahir dalam berorganisasi.
--
Ini
hari ketiga Aima dipeluk udara Jayapura yang labil. Panas di siang hari, dan
dingin menusuk di pagi hari. Pagi ini ia mimilih mendaki bukit-bukit kecil di
belakang penginapan, yang sejak ia sampai di penginapan, hanya bisa dipandangi
dari atas balkon kamar.
Bersama rombongan kecil yang memiliki niat yang sama,
ia mendaki bukit-bukti berumput itu. Pemimpin rombongan kecil itu adalah Kak
Ode, mahasiswa asli Kendari yang telah lama menetap di Jayapura. Badannya
tegap, dengan kulit gelap, namun ia memiliki senyum yang manis, karena sikapnya
yang ramah pada semua orang. Acara mendaki bukit di pagi hari ini merupakan
agenda bebas, sebelum dimulainya agenda konferensi siang nanti.
Aima
menikmati udara Jayapura yang begitu segar, sepanjang mata memandang adalah
bukit-bukit yang tertimpa cahaya matahari pagi. Ini sungguh berbeda dengan pagi
di langit Jakarta. Bercanda dengan rombongan yang semuanya ramah, dan yang
penting, tidak ada Andi dalam rombongan.
“Tunggu,
kenapa juga aku kepikiran Andi?” Aima mengibas sebal pikirannya sendiri.
--
Konferensi
berlangsung sangat seru, beberapa keputusan penting dan sulit sudah dikantongi.
Esfiya, sebagai salah seorang calon pemimpin muda, berorasi dengan sangat
mengesankan. Auranya menguasai seluruh aula. Bahkan beberapa mahasiswa dari
Ternate yang biasa tidak pernah sepakat dengan forum, kali ini
mengangguk-angguk mendengar orasi Esfiya. Aima memperhatikan di sudut aula,
duduk merapat bersama mahasiswa asal Jakarta lainnya.
Usai
konferensi panitia mengumumkan agar peserta bersiap-siap untuk trip ke bukit
TVRI dan kantor Gubernur Papua. Seluruh peserta bersemangat, mengingat kantor
TVRI yang terletak di bukit cukup tinggi di Jayapura, yang konon bisa melihat
seluruh pemandangan kota Jayapura dari atas bukit TVRI. Semua bergegas,
termasuk Aima.
“Benar-benar
indaaaah” Aima tak bosan-bosannya berdecak kagum, melihat seluruh kota Jayapura
dari atas bukit. Sudah lupa sama sekali akan tronton terbang yang mengerikan.
“Apalagi
kalau malam hari, jauh lebih indah lagi, Mace”
Eve, kali ini bersama Aima, menimpali. Mace adalah panggilan untuk ibu-ibu di
Papua. Aima tertawa mendengar Eve memanggilnya Mace.
“Oyah?
Seindah apa?” Aima penasaran.
“Wah,,Ko tara taulah sebelum lihat sendiri..
Haha ya seindah Jayapura di malam hari, hehe” Eve malah menggoda Aima.
“Kamu
mau melihat pemandangan Jayapura di malam hari, Ai?” Andi lagi-lagi mendadak
muncul di area pandang Aima. Cowok Makassar yang satu ini seperti angin,
melesat sana-sini, lalu mendesis tiba-tiba dalam jarak dekat, terutama di
seputaran Aima. Aima melirik, melalui punggung Eve, ia melihat Andi memakai
kemeja kotak-kotak biru kali ini. Ah, peduli
amat, mau kemjanya kotak-kotak atau bahkan abstrak sekalipun, apa pedulinya..gerutu
Aima.
---
Ternyata seminggu di Papua dengan jadwal konferensi
dan trip-trip yang padat sangat tidak terasa. Aima berpikir waktu begitu cepat
berlari di sini. Ia bahkan belum sempat ke daerah perbatasan Papua dengan Papua
Nugini yang katanya masih terjadi baku tembak. Seru, menantang, sekaligus
petualangan yang berbahaya menanti di sana. Sayang, itu tak mungkin menjadi destinasi
trip bagi rombongan konferensi. Daerah tersebut bukan untuk umum. Aima menghela
nafas panjang, mengingat usai berarti ia harus kembali berurusan dengan
Hercules mengerikan itu lagi, tronton
terbang!
Bersiaplah, Aima tak gentar lagi sekarang
menghadapimu..
---
Gerimis menutup hujan yang awet sepanjang hari,
membuat Aima terpaksa melompati kenangan-kenangannya bersama tronton terbang di
bawah langit Jayapura! Dan layar ponselnya kembali memampang pesan singkat
dengan nama
pengirim, Andi.
No comments:
Post a Comment